SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Selasa, 24 Juni 2014

Sejarah Yogyakarta


Sejarah Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta, INDONESIA



























    Dalam perkembangannya, DIY mengalami tahapan kehidupan dari masa ke masa. Pertama, masa Prasejarah yang jejaknya banyak ditemukan di Gunung Kidul dan Bantul. Kedua, periode klasik atau masa Hindu-Budha, masa dimulainya pemerintahan berbentuk kerajaan. Hingga akhirnya pengaruh Islam masuk ke Indonesia. Lalu muncul kekuatan politik baru yaitu Kerajaan Mataram Islam dengan pusat pemerintahan yang berada di Kota Gede yang termasuk ke dalam wilayah DIY.

    Bermula dari berkuasanya Kerajaan MataramIslam yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta yang sekarang. Kerajaan Mataram ini dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan pada abad ke-17. Ia memiliki gelar Panembahan Senopati. Namun, kepemimpinannya tidak berlangsung lama karena ia meninggal enam tahun kemudian.

    Kekuasan akhirnya jatuh ke tangan anak lelaki Panembahan Senopati yang bernama Pangeran Jolang. Pada tahun 1613 M, ia meninggal ketika berburu di hutan. Sebelum masa pemerintahannya berakhir, ia sempat menjalin hubungan dagang dengan Belanda. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Sultan Agung. Awalnya, hubungan dengan Belanda berjalan semakin baik. Kemudian Sultan Agung merasa janggal dan berusaha menaklukkan Belanda, namun pasukannya kalah oleh kurangnya logistik, timbulnya berbagai penyakit, serta penggunaan senjata api oleh sekutu.

    Pada tahun 1647 M, pemerintahan dipegang oleh Sunan Amangkurat I yang terkenal arogan dan sewenang-wenang. Ia bahkan tega membunuh adiknya sendiri, Pangeran Alit, karena tak sepaham dengan kebijakan politik pemerintahannya. Banyak pihak yang akhirnya melepaskan diri dari pemerintahan Sunan. Hal tersebut malah membuat Belanda memberikan dukungannya lewat VOC. Akhirnya, rakyat kehilangan simpati dan mulai melakukan perlawanan. Sunan melarikan diri ke arah barat untuk minta bantuan VOC. Tanggal 10 Juli 1677, ia meninggal dalam pelariannya.

    Kekuasaan jatuh di tangan Sunan Amangkurat II, ia mewarisi kekuasaan dari ayahnya dengan tetap menjalin hubungan dengan VOC. Bahkan, disebutkan pula dalam Babad Tanah Jawi bahwa ia berpakaian gaya Belanda setiap hari dan tidak terpisahkan dengan Belanda. Kerja sama tersebut sebenarnya tidak saling menguntungkan. VOC menarik biaya perang bahkan meminta sebagian wilayah Jawa ketika dimintai bantuan oleh pihak kerajaan.

    Di lain sisi, Pangeran Puger, saudara Sunan Amangkurat II yang berkedudukan di Plered tidak mau mengakuinya sebagai raja Mataram. Kemurkaan Sunan berujung pada penyerangan Mataram ke Plered, November 1680. Pangeran Puger kemudian mundur dari perseteruan dan mengakui kedaulatan saudaranya.

    Selanjutnya, secara berurutan kekuasan dipegang oleh Sunan Amangkurat III, Sunan Paku Buwana I, Sunan Amangkurat IV, dan Sunan Paku Buwana II. Pada masa-masa ini, pemerintahan Mataram semakin labil. Pemerintahan yang berpusat di Kartasura Adiningrat kemudian berpindah ke Surakarta akibat pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat yang benci penguasa. Ternyata keadaan tidak semakin membaik di Surakarta dan berujung pada berakhirnya dinasti Mataram.

    Kekuasaan dinasti Mataram berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M. Perjanjian Giyanti menghasilkan kesepakatan dipecahnya kekuasaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I, sedangkan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Sunan Paku Buwono III.

    Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, orang Cina mulai datang dan bermukim di Yogyakarta. Mereka mempunyai kepentingan untuk berdagang dan dianggap menguntungkan bagi pihak Kasultanan. Untuk itulah akhirnya ditunjuk beberapa Kapiten Cina untuk mengurus kepentingan orang-orang Cina di Yogyakarta. Bahkan Kapiten Cina Tan Jin Sing mendapat anugerah gelar KRMT Secodiningrat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III.

    Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya merupakan masa sulita bagi Kasultanan Yogyakarta. Hingga akhirnya pada periode pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1821), Kasultanan mengalami masa kondusif. Dilanjutkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII, pembangunan dan penyempurnaan lingkungan kraton tetap dilaksanakan.
    Setelah naik tahta pada tahun 1940, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembaharuan-pembaharuan birokrasi di kraton. Beliau dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945 yang menegaskan, baik Kasultanan maupun Pakualaman merupakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta membentuk satu Badan Pekerja sebagai wakil rakyatnya.

    Saat ini, dalam bidang pemerintahan Republik Indonesia, Sultan Hamengku Buwono bersama Sri Paku Alam menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan yang didasarkan pada pertimbangan historis, yuridis, dan kondisi realita masyrakat Yogyakarta secara luas.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar