DALAM sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah 10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.
Quote:
“Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I. “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.” |
Sebuah surat berisi seorang bernama Syekh Abdallah bermimpi bertemu Nabi yang berwasiat kepadanya. Isinya: “Hai Syekh Abdallah... ini sesungguhnya adalah peringatan terakhir... Beritahukan mereka, bahwa hari kiamat sudah dekat, gerbang permohonan pengampunan segera ditutup. Hari kiamat sudah memberikan tanda di Ka’bah dan malaikat Jibril telah memberi tahu kepadaku, bahwa dia akan turun sepuluh kali di dunia untuk mencabut kebenaran, cinta dari hati para bersaudara, karunia, kesabaran, sifat lemah lembut, iman dari hati para hartawan, ilmu pengetahuan, dan yang kesepuluh penghormatan terhadap Quran dari hati kaum yang beriman.”
Quote:
Ilustrasi |
Surat peringatan lain terbit dalam dua versi: ditandatangani Raja (Syarif) Mekah Mohamad Ja’far ibn ‘Abd al-Khaliq dan Abdus Sarip. “Raja Arab (sic), yang katanya telah menerima wahyu dari Nabi, menyebarluaskan propaganda yang berisi ramalan eskatologis,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Menurut Sartono, surat itu memuat gambaran mesianik klasik tentang malapetaka dan bencana-bencana mengerikan yang akan menimpa manusia menjelang “akhir zaman”. Surat itu berisi pesan yang mengandung makna eskatologis, seruan agar manusia menjauhkan diri dari perbuatan menghinakan Tuhan, berzina, bersikap sombong, hidup mewah, dan makan riba. Ia juga berseru agar manusia menyucikan kehidupan rohani mereka dengan jalan bertobat dan menjalankan kewajiban agama.
Pada akhir 1883, polisi Banten menyita sebuah surat selebaran dari seorang bernama Misru. “Dia mendapatkannya dari saudaranya, Asta, yang membeli dari Mas Hamim dari Pakojan (Pinang, Kota Tangerang). Katanya, surat itu ditulis oleh Syarif Mekah pada 1880, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa ia ditulis di Jawa,” tulis Sartono.
Hurgronje bahkan memastikan, dari susunan dan beberapa bagian isinya, tulisan itu bukan berasal dari tanah Arab atau setidak-tidaknya secara khusus dan sengaja disesuaikan dengan pengetahuan umat Muslim di Hindia Belanda; mereka hendak dibujuk, digugah, dan dikobarkan semangat pada agama.
Yang menarik –mungkin dalam surat peringatan yang lain– secara khusus disebutkan kewajiban mengirimkan sumbangan ke Mekah dan menunaikan ibadah haji. Anjuran agar menunaikan ibadah haji terkait dengan tanda-tanda bahwa “apabila selama waktu tujuh tahun tidak ada orang yang beribadah haji, maka sewaktu bangun tidur esok hari orang akan melihat Ka’bah sudah hilang, sehingga orang tidak melihat bekasnya lagi,” tulis Hurgronje.
Lebih lanjut Hurgronje menerangkan, surat peringatan itu mengingatkan pembacanya pada berbagai bencana yang tak lama berselang dialami umat manusia seperti wabah penyakit, banjir, gempa bumi; selanjutnya pada isyarat-isyarat khusus yang telah menampakkan diri, misalnya Batu Hitam (Hajar Aswad) di Ka’bah lambat-laun akan menghilang atau pintu Ka’bah tak dapat dibuka lagi. Berdasarkan itu semua diramalkan Hari Kiamat sudah dekat dan dinasihati kepada kaum yang percaya untuk mempersenjatai diri dengan ketaatan pada agama dan perbuatan-perbuatan baik.
“Dianjurkan untuk menyebarluaskan surat peringatan itu, bahkan jika tidak percaya dengan peringatan itu bisa dianggap sebagai perbuatan kafir,” tulis Hurgronje.
Yang jelas, antara tahun 1880 sampai 1885 sejumlah besar surat selebaran keagamaan itu beredar di Aceh, Lampung, Banten, Batavia, dan Priangan. Karena tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, sebagai organisasi gerakan pemberontakan, berkembang di bawah tanah, penyebarluasan surat itu tak mengkhawatirkan para pejabat Belanda.
“Menurut pendapat mereka surat itu bersifat komersial karena menyangkut usaha mencari calon jemaah haji,” tulis Sartono. “Belakangan mereka memperkirakan surat itu akan menimbulkan keresahan di kalangan rakyat, mengingat baru saja rakyat dilanda gelombang kepanikan setelah terjadi wabah penyakit dan bencana alam antara tahun 1879 sampai 1883.”
Wabah dan bencana dianggap sebagai teguran dari Tuhan serta pertanda untuk segera melancarkan pemberontakan terhadap penguasa kafir Belanda dan menjadikan bumi Banten sebagai wilayah Islam (Dar al-Islam). Surat ederan dari Mekah itu, yang isinya dikenal sebagai “Peringatan terakhir dari Nabi”, menjadi pembakar semangat rakyat Banten untuk memberontak. Surat peringatan tersebut dijadikan indoktrinasi pemberontakan yang dilakukan dalam pertemuan-pertemuan di masjid, mushola, atau tarekat. Revolusi sosial, yang disebut Sartono sebagai pemberontakan petani Banten, meletus pada 9 Juni 1888.
Surat tentang peringatan terakhir Nabi masih beredar hingga kini.Bahkan menyebar di dunia maya, melalui situs, email, atau milis. Isi wasiatnya sama: kiamat sudah dekat. Bedanya, kali ini penerima wasiatnya adalah Syekh Ahmad, juru kunci makam Nabi.
Banyak orang mempertanyakan kebenarannya. Bagi ulama besar Mesir Syekh Yusuf al-Qaradhawi, kemunculan surat wasiat ini bukan saja baru-baru ini, tetapi dia telah melihatnya sejak puluhan tahun lalu. Syekh Yusuf lalu mencari informasi tentang Syekh Ahmad dan aktivitasnya kepada orang-orang di Madinah dan Hijaz. Ternyata tak seorang pun pernah melihat dan mendengar berita mengenai Syekh Ahmad. Syekh Yusuf lalu memberikan fatwa dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah pada 2001 –terbit dalam bahasa Indonesia menjadi Fatwa-Fatwa Kontemporer. Isinya: segala isi pesan terakhir Nabi itu tak ada arti dan nilainya sama sekali dalam pandangan agama.
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia pada 1978 mengeluarkan fatwa terhadap selebaran itu: “Barang siapa dengan sengaja menyebarkan risalah ini adalah melakukan syirik dan tidak mustahil jatuh murtad, melainkan dia bertaubat dan menarik balik perbuatannya itu terhadap siapa pun yang telah dikirimkan risalah ini.” Menurut Majelis, antara tahun 1881 sampai 1979, tak ada penjaga makam Nabi bernama Syekh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar